Kamis, 17 Desember 2015

Sesuatu Yang Lebih Menyenangkan Daripada Konser Sheila On 7

- 0 komentar
Apa yang lebih menyenangkan dari melihat konser Sheila On 7?
Pertanyaan itu tiba-tiba mengnghampiriku beberapa waktu yang lalu. Sebagai sheilagank pasti sangat menyenangkan dimana melihat mas Duta bernyanyi diatas panggung, sihir mas Eross dengan gitarnya, permainan Bass Mas Adam, dan Mas Brian yang menggila bersama drum-nya.

Mereka memang sangat menghibur kalau sudah berada diatas panggung, improvisasi sana-sini yang membuat pertunjukan panggung mereka gak monoton dan gak pernah bikin bosan melihat langsung konser mereka.

Tapi sekali lagi pertanyaan itu terlintas. Adakah yang libih menyenangkan dari konser Sheila On 7? Dan aku secara pribadi menjawab “YA!!! ada yang lebih menyenangkan daripada sekedar melihat konser Sheila On 7!”

So? Apa yang lebih nyenengin daripada nonton konser Sheila On 7?

Buatku hal yang lebih menyenangkan adalah melihat penonton yang datang buat liat konser SO7. Melihat penonton yang antusias dengan konser mereka. Rela nungguin Mas Duta dkk naik ke panggung jika acaranya molor entah karena alasan teknis maupun non teknis. Melihat mereka sabar menunggu bikin aku sadar kalau penampilan Sheila On 7 emang selalu ditunggu.

Dan ketika Mas-mas kece udah di atas panggung dengan semangatnya mereka jingkrak-jingkrak bersama ratusan bahkan ribuan orang. Ikut bernyayi bersama entah mereka yang Sheilagank ataupun bukan, dengan setiap lirik yang terucap dan membentuk sebuah koor masal yang sering mas Duta sebut sebagai “Backing Vokal Terbesar”.

Selesai konser “Hal yang lebih menyenangkan” itu pun belum usai. Barisan penonton yang bubar meninggalkan tempat konser dengan teratur. Wajah-wajah mereka ceria, merasakan kepuasan setelah melihat aksi panggung Mas-mas BEDA. Bukti bahwa musik mereka bukan hanya dinikmati oleh “fans” tapi penikmatnya lebih luas dari itu, masyarakat luas yang bahkan lintas generasi.

Ada lagi?

Mungkin Cuma tambahan aja sih, karena sekarang ini jamannya sosial media jadi gak susah buat nyari reaksi orang-orang yang habis nonton konser Sheila On 7. Banyak dari orang-orang tersebut adalah seorang “Idola” yang dengan pede mengakui bahwa mereka juga penyuka Sheila Music.

Mulai dari Tantri Kotak yang dengan gamblang bilang bahwa dia sejak lama jadi penggemar Sheila On 7. Dia juga bilang bahwa hanya Sheila On 7, band yang dia punya semua albumnya. Tantri pernah mengunggah foto bersama personil SO7 di sosial media dengan memberikan caption yang senada dengan pengakuannya sebagai fans.

Ada Raffi Ahmad. Yang satu ini sepertinya udah bukan rahasia lagi kalau dia ini fans Sheila On 7. Di acara pernikahannya aja Nagita sampai mengundang Sheila On 7 buat nyanyi di resepsi mereka.

Zaskia Adya Mecca? Yang satu ini juga gak perlu diragukan lagi. Beberapa kali dia mengungah foto ketika nonton konser Sheila On 7 di akun instagram pribadinya. Dan ngaku ngefans sejak SMP.

Dan yang belum lama ini ada Raisa yang juga ngaku penggemar band asal Jogja ini. dalam sebuah acara ulang tahun salah satu statiun televisi beberpa waktu lalu Raisa berkesampatan duet dengan SO7. Sebelum dan sesudah konser Raisa sempat mengungkapkan kegembiraannya berduet dengan Sheila On 7 di twitter dan instagram miliknya.

Diambil dari akun twitter Raisa @raisa6690


Masih ada yang lain yang belum sempat tersebutkan disini siapa aja idola yang mengidolakan idolaku. (hmmm agak mikir bentar, idola yang mengidolakan idolaku? Haha)


Jadi intinya, ketika aku menemukan hal yang lebih menyenangkan dari konser Sheila On 7 ini aku sadar bahwa aku tidak sendiri dan tidak akan pernah sendiri dalam menikmati Sheila Music. Selama mereka masih berkarya, akan selalu ada orang-orang yang antusias menyambutnya. Akan selalu ada orang-orang yang rela menunggu, jingkrak-jingkrak, nyanyi bareng, dan wajah-wajah bahagia setelah menikmati musik mereka. So? Melihat musik yang aku suka juga di sukai oleh orang banyak adalah hal yang menyenangkan. Dan satu hal yang penting, mereka selalu mengedepankan kualitas daripada popularitas! Karena mereka B.E.D.A. Selamat Menikmati Sheila Music.
[Baca Selengkapnya...]

Jumat, 06 November 2015

My Facebook - (Part 1)

- 0 komentar
“Semalem kamu kemana?” Tanyaku kepada Dyas. Pacarku.
“Emmm…”
“Kenapa sih gak bilang kalau kamu main sama temen-temenmu?”
“Emang harus ya setiap aku mau ngapain laporan dulu sama kamu?”
“Bukan itu masalahnya Yas, kamu inget kan seminggu lalu kita janjian kalau seharusnya kemarin kita pergi bareng? Terus tiga hari lalu kamu batalin. Inget alasan kamu apa?” Dyas hanya diam dan memalingkan pandangannya dariku. Aku pikir di memang lupa dengan janji itu. “Yang jadi masalah kenapa kamu gak jujur kalau mau pergi sama temen-temen kamu?” lanjutku.
“Aku gak masalah kalau kamu mau jalan sama temen-temenmu, kamu emang butuh mereka. Tapi kenapa kamu jadi bohong sama aku?” masih tanpa kata dia diam. “Kalau kamu belum mau bicara gak apa-apa, kita bahas nanti. Aku mau kuliah dulu.”
[Baca Selengkapnya...]

Senin, 01 Juni 2015

Untuk Cinta (Flat White & Frappe)

- 0 komentar
7 mei 2011
Sore itu. Aku masuk di sebuah kafe yang berada di jalan pandanaran. Kafe dengan interior klasik, yang dikelilingi dengan jendela kaca. Sehingga bagian dalam bisa terlihat jelas dari luar, begitu juga sebaliknya. Aquila café namanya. Aku menuju meja yang terletak di sudut kafe, sebuah meja kotak dengan dua kursi. Sesaat setelah duduk seorang pelayan menghampiriku.

“Sore mas Altarf, mau pesan apa?” tanya Widya. Nama pelayan itu. Aku memang sering datang ke tempat ini, sehingga aku cukup akrab dengan karyawan kafe ini.

“Flat white, seperti biasa.” Jawabku singkat sembari melemparkan senyuman.

“Oke mas, bentar ya.” katanya. Dan kemudian dia pergi.

Sekitar lima menit kemudian Widya kembali menghampiriku, bersama flat white yang aku pesan tadi. “Ini mas pesanannya, flat white.” Dia menaruh minuman itu di meja. “sendirian aja nih mas?” tanyanya.

“Aku lagi nungguin Maya.”

“Lha emang mbak Maya lagi dimana mas?

“Gak tau. Tadi sih aku di sms bilang ketemuan disini gitu aja.” Kataku sambil tersenyum.


Memang seperti itu, Maya mengirimiku pesan singkat. “Mas, temui aku di kafe biasa ya.” begitulah isi pesannya. Dan langsung aku mengiyakan ajakannya. Aku memang sedang tak ingin banyak basa-basi bertanya dia sedang dimana.


“Yaelah mas. Tapi ngomong-ngomong gimana nih hubungannya? Ada kemajuan gak?” cecarnya. Yang membuatku sedikit terkejut dengan pertanyaannya.

“Maksudnya apaan nih?” kataku sambil menahan ketawa.

“Halah pake nanya maksudnya apaan.  Emangnya saya gak tau kalau mas suka sama mbak Maya?”

“Kita Cuma temen kok.” Jawabku sambil ku buat se tenang mungkin kata-kataku. “Udah sana kerja, ntar tak bilangin mas Danar dimarahin kamu.” Lanjutku.

“Hmmm,,, iya deh iya.” Suara Widya terkesan kecewa.

Maya, nama wanita yang sedang aku tunggu kedatanganya. Seorang wanita yang membuatku jatuh hati. Dia adalah adik tingkatku waktu kuliah. Akan tetapi aku baru mengenalnya setelah aku lulus,  sekitar setahun lalu. Waktu itu sebuah pesan singkat masuk ke handphone ku, menanyakan apakah itu benar nomor teleponku.  Dia bilang dia mendapatkan tugas untuk menganalisis skripsi alumni, dia memilih skripsi milikku dan bilang ingin bertanya bebrapa hal. Karena aku masih berada di kota ini akhirnya aku memilih untuk mengajaknya ketemuan. Karena aku kurang bisa menjelaskan sesuatu secara tidak langsung. Disini, di kafe inilah aku bertemu dengannya untuk pertama kali.

Dia tipe wanita yag berbeda dari kebanyakan wanita yang pernah aku kenal. Entah kenapa terasa mudah sekali aku akrab dengannya. Tidak hanya soal skripsiku, obrolan kami mulai meluas. Tanpa rasa canggung dia bicara soal sahabat-sahabatnya, sampai tentang salah satu dari sahabatnya yang ternayata naksir dia. Bagi orang yang pertama kali bertemu itu bukan sesuatu yang biasa menurutku. Dan dia sudah membuatku terkesan pada pertemuan pertama itu.

Sejak saat itu kita semakin sering ketemu mulai dari membahas tugasnya yang menganalisis skripsiku atau hanya sekedar ngobrol biasa. Tidak butuh waktu lama untuk aku bisa jatuh cinta kepadanya. Aneh memang, karena tidak seperti biasa aku begitu mudah jatuh cinta. Dengan mantan-mantanku pun aku setidaknya sudah mengenal mereka selama setahun baru bisa jatuh cinta. Tapi memang Maya berbeda dengan mereka.



       Aku melihat jam tanganku, sudah pukul 16:07. Di luar aku melihatnya berjalan di trotoar seberang jalan. Berhenti sebentar sambil melihat kanan dan kiri kemudian menyeberangi jalan menuju kafe ini. Saat masuk dia menoleh ke arahku sembari melemparkan senyum sebelum menghampiri meja pelayan untuk memesan sesauatu. Frappe, pasti minuman itu yang dia pesan.



       “Maaf ya telat.” Kata yang dia ucapkan ketika baru saja duduk di depanku. “Udah lama nunggunya?” tanyanya.



       “Dua puluh menitan lah. Habis darimana sih?”



       “Itu habis dari toko buku situ.” Dia mengambil handphone dari tasnya, sepertinya sedang mengetik pesan kemudian meletakkanya di meja. “Sebel tau gak mas.” Lanjutnya tiba-tiba. “Masak ya, aku kan lagi cari buku. Aku muter-muter di rak buku gak ketemu, tapi di komputer informasi stok bukunya masih ada. Aku sampai pusing nyarinya. Kan bikin sebel kalau kayak gitu.” Ujarnya sambil menunjukkan rasa kesalnya.



       “Ini mbak frappe nya.” Sela Widya sambil menaruh pesanan yang sudah ku duga sebelumnya. “Mbak Maya, kasiahan tuh mas Altarf. Udah dari tadi nungguin mbak Maya.” Widya coba menggoda kami. Sementara Maya hanya tersenyum mendengar perkataan Widya sebelum dia meninggalkan aku kami.



“Emang lagi cari buku apa sih?” aku memulai kembali obrolan kami.



“Itu lho bukunya Steve yang soal arsitektur perkotaan.”



“Ohh buku itu. Aku punya kok, kalau mau ambil aja.”



“Serius nih?” katanya dengan semangat. “Oh iya mas, aku bentar lagi acc sidang akhir. Besok pas sidang kamu datang ya?” pintanya.



 “Enggak ah.” Jawabku cepat tanpa berfikir terlalu lama.



”Yah gak asik ah, masak gak mau datang.” Maya kelihatan kecewa dengan jawabanku.



“Aku gak enak sama pacarmu kalau aku nungguin kamu sidang.” Kata ‘pacarmu’ seperti sebuah bumerang buatku. Memang sesungguhnya Maya sudah memiliki pacar. Aku memang baru mengetahuinya setelah aku benar-benar jatuh cinta pada perempuan ini. Meskipun Maya tahu kalau aku suka padanya, karena aku memang sempat mengatakannya walau tidak memintanya untuk jadi pacarku. Akan tetapi sikapnya terhadapku masih sama seperti biasanya.



Bahkan dengan santainya dia bercerita tentang rencana perikahannya kepadaku. Selepas ia wisuda juli nanti rencana dia akan menikah dengan pacarnya. Orangtua Maya memang termasuk tegas. Mereka tidak suka Maya pacaran sekedar pacaran, sehingga ketika suatu saat pacar Maya datang kerumahnya ia ditanya tentang masa depan hubungan mereka. Pria itu hanya bilang secepatnya tanpa waktu yang pasti, sebelum orangtuanya meminta mereka menikah selepas Maya selesai kuliah. Lelaki yang tidak bisa tegas, pikirku dalam hati ketika Maya menceritakan hal itu.



“Kenapa sih ujung-ujungnya soal itu.” Maya sedikit kesal. Ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi sambil membuang pandangannya ke luar jendela, kemudian mengambil dan meminum frappe miliknya dengan pandangan masih keluar jendela.



“May, kamu sendiri tahu kan kalau aku itu suka sama kamu. Dan di luar sana ada orang lain yang juga suka sama kamu. Orang yang lebih punya hak atas kamu daripada aku, pacar kamu, calon suami kamu.” Aku berkata dengan tegas, akan tetapi dengan suara yang cukup pelan. Karena aku tidak ingin menarik perhatian orang-orang di kafe itu.



Aku sungguh tidak ingin ada yang mengira kalau kita adalah pasangan selingkuh. Bukan karena aku takut akan malu, tapi aku tak ingin mereka berperasangka buruk terhadap Maya. Meskipun kenyataannya memang antara kami sampai saat ini hanya sebatas teman, walau kadang aku berharap lebih.



“Dia juga gak bakal datang. Sidangku kan bukan hari libur.” Kata yang terucap pelan darinya.



Maya memang bukan berasal dri kota ini, begitu juga dengan pacarnya yang satu daerah dengannya. Jadi kemungkinan dia datang memang cukup tipis.



“Anggap ini permintaan terbesarku mas.” Maya menatapku dengan pandangan yang serius. “Aku benar-benar ingin kamu datang.”



Aku terdiam sesaat sebelum mengiyakannya. “Baiklah kalau begitu, akan aku usahakan untuk datang.”



Maya mulai tersenyum mendengar jawabanku, meskipun senyumnya bukan senyum lepas seperti biasanya. Tapi setidaknya aku tidak melihat wajah cemberutnya lagi.



Kami masih berada di kafe sampai sekitar setengah enam. Sebelum akhirnya aku mengantar Maya pulang ke kosannya yang masih berada di sekitar kawasan kampus.

***

Flat White (diambil dari google)
10 september 2011


Secangkir flat white tersaji di depanku. Beberapa menit aku hanya memandanginya, sebelum aku mulai meminumnya. Aku ingin menikmati flat wahite di Aquila café sebelum aku meninggalkan Indonesia. Pertengahan bulan lalu seniorku waktu kuliah menghubungiku, mas Prasetya. Dia adalah senior, teman sekaligus mentor bagiku. Usianya tiga tahun lebih tua dari aku. Waktu kuliah dulu dia sering mengajakku ikut dalam beberapa proyek yang dia kerjakan. Sampai awal tahun 2010 kemarin dia mendapatkan pekerjaan di Jerman, di sebuah perusahaan bidang tata ruang yang juga memiliki beberapa kantor cabang di negara-negara eropa lain.



“Ayolah Al, mumpung ada kesempatan. Lagian kamu juga bisa sekalian lanjutin kuliah S2 di sini.” Rayu mas Pras kepadaku yang akhirnya tak bisa aku tolak.



Aku melihat layar hanphone ku dan mencari kontak Maya. Tapi seketika itu juga ada keraguan, apakah aku harus berpamitan padanya atau tidak. Kubuka tas ranselku dan mengambil sebuah undangan. Undangan pernikahan Maya dengan pacarnya, yang akan dilangsungkan tanggal 25 september. Sebearnya dia sudah cerita jauh-jauh hari soal tanggal itu, tapi aku tak mengira bahwa undangan datang secepat ini.



Perasaan ingin menemuinya untuk yang terakhir dan rasa keraguan muncul dalam pikiranku. Kupandangi kartu undangan dan hp ku secara bergantian. Akhirnya kuletakkan keduanya di meja dan menyandarkan tubuhku di sandaran kursi. Aku memandang ke luar jendela kafe dengan tatapan kosong.



“Ah, aku kesini untuk menikmati flat white. Bukan untuk memikirkan hal itu.” Kembali kunikmati flat white yang mulai dingin. “Mungkin sebaiknya memang aku tidak usah berpamitan kepadanya.” Pikirku lagi.



Cangkir flat white ku sudah kosong ketika aku memutuskan untuk beranjak pergi. Ku ambil handphone dan tas ranselku, kemudian berjalan pergi. Sengaja ku tinggalkan kartu undangan itu di atas meja, tak ada gunanya juga aku membawanya. Karena malam ini aku akan terbang ke Jerman.



***
28 Mei 2015                             



Suara deru mesin pesawat mengiringi kedatanganku di bandara. Tak terasa hampir empat tahun aku tidak pulang ke Indonesia. Tiga tahun aku berada di Jerman menjadi asisten mas Pras dan melanjutkan pendidikan S2 di salah satu universitas di Jerman. Beberapa bulan setelah lulus S2 aku di pindah tugas ke kantor cabang di Inggris. Mereka bilang prestasi kerjaku bagus dan selayaknya di beri kepercayaan menjadi team leader di salah satu divisi. Akhirnya aku ditugaskan di kantor Inggris.



Aku mengambil cuti beberapa hari untuk pulang ke Indonesia, selain memang sedang tidak banyak pekerjaan di kantor aku juga sangat merindukan kampung halamanku dan kedua orangtuaku. “Ahh, tak sabar rasanya aku ingin segera duduk di Aquila cafĂ© dan menikmati secangkir flat white yang sudah aku rindukan.” Begitu pikirku dalam hati.


29 Mei 2015



Besoknya seperti biasa. Aku duduk di sudut kafe dan memesan secangkir flat white. Tak banyak yang berubah dari kafe ini, kecuali para karyawan yang kebanyakan sudah ganti. Banyak kenangan di kafe ini, tempat favoritku dan Maya berbagi cerita. Tapi semua itu sudah lama berlalu.



Aku mengambil handphone dan melihat ada beberapa pesan masuk. “Apa aku harus menghubungi Maya?” pikirku. Empat tahun berlalu tapi perasaan itu masih sama, tak pernah berubah. Sejujurnya aku ingin tahu bagaimana kabar Maya sekarang, masihkah sama seperti dulu apa sudah berubah. Aku berpikir sejenak dan kemudian meletakkan handphone ku ke meja. Dia sudah menjadi istri orang sekarang, lagipula apa dia masih di kota ini.



Pandanganku beralih ke jalan raya, sedangkan pikiranku melayang. Kami memang tak pernah punya hubungan yang bisa di bilang ‘spesial’. Tetapi dengan perasaanku yang jatuh cinta dengannya membuatku tak nyaman seandainya ingin menemuinya.



Lamunanku terus berlanjut hingga tanpa sadar seseorang telah duduk di depanku.



“Kamu jahat.” Katanya membuyarkan lamunanku.



“Eh.. emm.” Suara yang keluar dari mulutku. Aku kaget sekaligus gugup ketika kudapati orang yang duduk di depanku adalah Maya. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana saat itu.



“Kamu jahat.” Kata itu sekali lagi keluar dari mulutnya. Tapi kali ini sembari tangannya memukul bahuku. “Pergi gak pamitan, pulang gak kasih kabar.” Tambahnya.



“Eh, waktu itu aku aku buru-buru. H min 1 aku baru di kasih kabar buat berangkat.” Aku mencoba mencari alasan. “Kamu kok bisa disini, aku kira kamu udah gak disini. Ikut suamimu.” Lanjutku dengan nada yang terlihat jelas gugup waktu itu.



“Tapi apa susahnya sih bilang kalau mau pergi. Lagian waktu itu aku juga masih disini gak di luar kota. Kamu minta ketemu paling cuma butuh waktu sepuluh menit buat kita ketemu. Kamu juga kenapa gak cerita kalau dapat tawaran kerja di Jerman. Emangnya aku udah gak kamu anggap?” cecarnya menyudutkan posisiku.



“Iya aku benar-benar minta maaf. Aku emang salah waktu itu gak ngabarin kamu. Kalau soal aku pulang ini aku gak tau kalau kamu masih disini. Aku juga gak lama disini. Karena tanggal 31 aku sudah harus balik lagi. Aku pulang niatnya hanya pengen jenguk orangtuaku aja.”



Kami terdiam beberapa saat. Sebelum aku melambaikan tangan kepada pelayan.



“Mbak pesan frappe satu ya.” pintaku kepada pelayan.



“Iya mas tunggu sebentar.” Sahut pelayan itu.



Maya masih terdiam tanpa kata. Kuperhatikan dia sudah terlihat lebih dewasa sekarang. Pakaiannya juga memperlihatkan bahwa dia sudah punya pekerjaan yang aku pikir cukup mapan disini. Dan yang paling jelas dia menjadi semakin menarik buatku.



“Masih inget juga sama frappe?” katanya sambil masih memperlihatkan wajah kesal.



“Salah satu hal yang mungkin gak akan pernah aku lupakan.” Jawabku dengan nada serius. “Kamu tambah cantik tau gak.” Kata itu keluar secara spontan dari mulutku. Tapi kali ini dengan nada bicara yang lebih tenang. Akan tetapi bukannya menjawab dia malah semakin menjauhkan pandangannya dariku.



“Ini pesanannya mbak Maya.” Suara pelayan yang mengantarkan frappe pesanan tadi. Dia mengenal Maya, padahal sebelum berangkat ke Jerman aku belum melihatnya bekerja disini. Berarti Maya masih sering kesini saat aku di luar negeri.



“Jadi kayak gini nih?” aku kembali memulai pembicaraan. “Empat tahun gak ketemu, terus ketemu cuma mau ngambek kayak gini?”



Maya mulai melihat ke arahku sebelum aku mulai berbicara lagi. “Kamu tau aku pulang darimana?”



“Mas Billy yang cerita. dari dia juga aku tau kalau Mas Altarf dapat tawaran pekerjaan di Jerman.” Billy adalah teman kuliahku dan juga kebetulan sekantor denganku dulu. “Sekarang aku kerja di kantor kamu yang dulu. Beberapa hari setelah kamu berangkat aku ketemu mas Billy, dan dia memberiku tawaran untuk mengganti posisi yang kamu tinggalkan di kantor.” Lanjut Maya yang sepertinya melihat wajahku yang ingin bertanya kenapa billy bisa cerita kepadanya. Dia menggambil frappe dan mulai meminumnya.



“Aku benar-benar minta maaf May kalau udah membuatmu kecewa sama yang terjadi.”



“Aku gak kecewa Mas. Aku cuma ngerasa sedih aja.” Ia diam sesaat sebelum melanjutkan. “Terus selama empat tahun ngapain aja? Sampai ngasih kabar aja gak pernah. Apa susahnya sih. Sedih tau mas, serasa aku gak pernah ada. Gak di anggap.”



Sekali lagi kata-kata ‘gak di anggap’ terlontar darinya. Aku terdiam beberapa saat.



“May, kamu tahu aku gak mungkin sampai gak nganggap kamu. Jujur Mey, salah satu alasan aku menerima tawaran kerja di Jerman suapaya aku bisa menjaga jarak sama kamu. Supaya aku bisa melupakan perasaanku sama kamu. Aku takut kalau aku hubungi kamu yang ada malah perasaan itu bakal kembali lagi dan gak akan hilang.  Kamu tau kalau aku suka sama kamu, aku sayang sama kamu. Tapi sejak dulu aku udah sering bilang kalau diluar sana ada laki-laki lain yang lebih berhak atas kamu ketimbang aku. Yang sekarang menjadi suami kamu.”



Maya kembali mengalihkan pandangannya keluar. Kedua tangannya memegang gelas frappe yang ada di meja. Keheningan kembali berada diantara kami. Hingga aku menyadari sesuatu yang tak wajar. Kedua tangannya bersih tanpa perhiasan, tak ada juga cincin pernikahan yang terpasang disana.



Aku langsung memandangi wajahnya, dan terlihat matanya sedikit berkaca-kaca. Apa yang sebenarnya terjadi, ada apa dengan pernikahannya.



“Apa yang terjadi May?” tanyaku. Akan tetapi dia tak bergeming sedikitpun. “May.” Aku memanggilnya sekali lagi. “Maya.” Kali ini suaraku sedikit lebih keras, dan aku genggam pergelangan tangannya.



Dia melihat ke arahku. Dan tak bisa terbendung lagi setetes air jatuh dari matanya. Ia menyeka kedua matanya. “Sebenarnya aku malu kalau harus ketemu kamu lagi mas.”



“Hey, jangan bilang gitu. Cerita apa yang terjadi. Dimana cincin pernikahanmu?”



Maya terdiam sesaat. “Aku gak pernah menikah mas.” Jawabnya lirih sambil di iringi air mata yang kembali jatuh.



“Pernikahanmu batal? Bagaimana bisa?” aku sungguh terkejut dengan apa yang baru saja dia katakan.



“Beberapa hari setelah kamu berangkat, ada seorang perempuan yang mendatangiku dan orangtuaku. Dia bilang dia hamil, dan mengaku kalau ayah dari janin itu adalah orang yang akan menikahiku kurang dari dua minggu lagi.” Aku bisa melihat raut kesedihan campur emosi dalam diri Maya. “Akhirnya pernikahan kami dibatalkan. Malu memang yang aku dan keluargaku rasakan. Tapi setidaknya itu lebih baik ketimbang semua terbongkar setelah aku menikah.”



Tak ada satu katapun yang keluar dari mulutku. Aku memilih untuk diam terlebih dahulu. Menunggu dia melanjutkan ceritanya.



“Aku emang bodoh, bisa-bisanya memutuskan untuk dengan pria semacam itu. Sementara ada laki-laki yang lebih baik dan dengan jelas lebih mencintaiku ketimbang dia. Lebih peduli terhadapku. Setelah kejadian itu aku kembali ke sini, pertama yang terlintas dalam pikiranku adalah menemuimu. Aku ingin cerita tentang semua yang terjadi, aku ingin menangi sekeras-kerasnya di hadapanmu. Aku ingin kamu tau betapa bodohnya diriku yang tak bisa memilih pasangan. Padahal sudah terlihat jelas dia bukan tipe orang yang tegas, bukan tipe orang sepertimu. Yang jauh lebih baik.



Tapi apa yang terjadi. Aku hanya bertemu mas Billy, dan dia cerita semuanya. Kamu malah pergi tanpa meninggalkan pesan apapun untukku. Dan itu malah bikin aku tambah sakit tau gak? Jujur waktu itu aku sangat butuh kamu mas. Cuma sama kamu aku bisa cerita tentang semua ini.”



Betapa bodohnya aku yang termakan cemburu waktu itu. Yang terlalu gegabah untuk secepatnya berangkat ke Jerman. Seandainya aku menunggu beberapa hari lagi mungkin semua akan lain. “Aku sungguh menyesal karena gak ada saat kamu benar-benar butuh. Aku malah pergi ke Jerman bahkan tanpa pamit.”



“Dan sampai saat inipun tak ada seorangpun yang aku ceritakan tentang hal ini kecuali kamu.” Maya menghela nafasnya. Dan terlihat kini emosinya sudah stabil. “Sejak itu hampir seminggu sekali aku selalu kesini, memesan frappe dan flat white kesukaanmu. Bodoh memang. Aku berharap bisa merasakan kehadiranmu disini. Sama seperti yang sering kita lakukan dulu. Aku duduk sendirian di sini dan berharap untuk cinta. Cintaku yang sesungguhnya, yang tak pernah aku ketahui sebelum ia pergi. Menunggumu selama empat tahun. Benar kata orang, kamu gak akan pernah tau apa yang kamu miliki hingga kamu kehilangan.



Saat tadi pagi mas billy bilang kamu pulang, aku tahu kalau kamu pasti akan kesini sore ini. Antara senang dan takut menyelimuti perasaanku. Senang akhirnya aku bisa melihatmu lagi setelah empat tahun, tapi juga takut menghadapi kenyataan ini di hadapanmu. Setelah empat tahun ini, aku tak banyak berharap bahwa perasaan itu masih ada. Perasaan yang pernah kau katakan dulu. Tapi setidaknya aku lega bisa melihatmu lagi, duduk berdua disini lagi. Memesan flat white dan frappe, meski seandainya ini harus jadi yang terakhir aku senang mas.”



“Besok kamu kerja?”



“Iya, kenapa?”



“Besok kamu cuti aja. Aku mau ketemu sama orangtuamu.”



Maya sedikit tekejut dengan omonganku. Aku bisa melihat dari raut mukanya.



 “Empat tahun bukan waktu yang cukup untuk melupakan perasaanku sama kamu. Dulu aku pernah bilang bahwa kamu wanita pertama yang bisa membuatku jatuh cinta dalam beberapa minggu. Tapi untuk menghapus perasaan itu tak cukup dengan hanya beberapa tahun. Dan aku ingin memastikan hubungan kita. Kecuali memang ada laki-laki lain di hatimu sekarang.”


Tangan kirinya maju dan meraih jemari tangan kananku. “Aku akan cuti besok.” Katanya sambil melebarkan senyum. Senyuman yang selama empat tahu ini selalu membayangiku.
[Baca Selengkapnya...]

Kamis, 07 Mei 2015

Quote of Ali bin Abi Thalib

- 0 komentar
"Cinta tak pernah meminta tuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian atau pengorbanan." - Ali bin Abi Thalib


[Baca Selengkapnya...]

Selasa, 05 Mei 2015

Thank's For Your Love

- 1 komentar
07 Des. Sebuah tanggal yang dijadikan nama album ketiga Sheila On 7. Tanggal itu pula aku mulai merakit asa dalam mimpi. 07 Desember 2013, ketika kau menerima perasaan ini. Rasa kasih sayang dan rasa ingin memiliki. Bukan hanya sekedar untuk status, tapi untuk masa depan. Rasa suka datang karena terbiasa. Ya, memeng begitulah kita. Meski di antara kita ada lima kota. Tidak jauh memang, cukup dengan naik motor selama dua jam aku bisa menjumpaimu. Tapi bukan itu, kesibukanku dan kesibukanmulah yang menghalangi kita untuk bertemu.

Maaf. Aku tidak bisa menjadi kekasih yang selalu ada di sisimu. Aku tidak bisa seperti pria lain yang bisa menemani kekasihnya kemanapun. Aku memang sibuk dengan rutinitas pekerjaanku, bahkan sempat meninggalkanmu selama tiga bulan karena aku harus berada di sisi barat propinsi ini. Maaf jika selama membuatmu menahan rindu. Tapi tahukah kamu, akupun selalu merasakannya. Rindu yang tak pernah bertepi.
Hanya dengan  menyebut namamu dalam doaku, dalam setiap permintaan setelah sujudku.aku bisa meredam rinduku.  Jika memang aku tak bisa menyentuh ragamu dengan tanganku, aku akan selalu menyentuh jiwamu dengan doaku.

Namun jalan kita sudah berbeda, kita tak lagi berjalan beriringan. Ketika di persimpangan itu kita mengambil jalan yang tak searah lagi. Berjalan dengan orang lain menuju arah kalian. Takdir memang tak satu manusiapun yang tahu. Meski setelah beberapa belokan kau kembali menemuiku di persimpangan, dan mengajak untuk berjalan berdampingan lagi. Maaf aku tidak bisa. Karena saat ini aku sedang mencoba mensejajarkan langkahku dengan perempuan yang ada di depanku. Meski aku tak tahu apa aku bisa. Takdir memang tak satu manusiapun tahu. Jika memang takdir, kita akan berjalan berdampingan lagi. Tapi saat ini aku masih menikmati jalanku, megejar langkah lain di depan sana.
Dan di persimpangan jalan ini aku ingin menyampaikan kepadamu. Yang mungkin selama ini tak pernah aku utarakan. Thanks for your love.





[Baca Selengkapnya...]

Jumat, 01 Mei 2015

Quote "Friedrich Nietzsche"

- 0 komentar
The best weapon against an enemy is another enemy.


-Friedrich Nietzsche (1844-1900)-
[Baca Selengkapnya...]

Minggu, 26 April 2015

Cinta? Tapi Beda

- 0 komentar
Entah kenapa aku ingin menulis artikel dengan tema seperti ini. sebenarnya ini adalah sebuah "fenomena" yang sudah lama terjadi, hanya saja mungkin di Indonesia sedang menjadi "trend", terutama di kalangan pemuda. Dan akhir-akhir ini aku melihat banyak film yang memasukkan unsur ini di dalamnya. Ya soal kisah cinta yang beda keyakinan. Mulai dari yang sama seperti judul arikel ini Cinta Tapi Beda, 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta, dan beberapa film lainnya meskipun hal itu hanya sebagai bumbu, bukan topik utama.

Aku sendiri sebelumnya tidak ada keinginan untuk menulis artikel dengan tema seperti ini, hanya saja barusan aku membaca sebuah cerita pendek yang membahas masalah ini. Dan aku jadi tertarik untuk ikut membuat tulisan seperti ini.

Dalam cerita itu di bilang ada sepasang kekasih yang memiliki keyakinan yang berbeda, dan ketika si pria di ceritakan bilang sama si wanita sebuah kalimat “Ketika gereja dan masjid masih bisa berdampingan, kenapa kita tidak bisa bersama?”. Dari kalimat itulah yang bikin aku ingin menulis tentang hal ini.

Sebelum aku bicara lebih lanjut, aku ingin menyampaikan bahwa ini adalah dari sudut pandang aku sebagai seorang muslim dan dari apa yang sejauh ini aku tahu. Dan jika anda masih ragu dengan apa yang tertulis disini silahkan cari refernsi lain, karena aku sadar kalau masih banyak yang belum aku tahu tentang agamaku, apalagi yang lain.

Oke lanjut…

Masalah seperti ini  biasanya terjadi di kalangan anak muda, yang masih bersenang-senang dengan cinta dan belum berfikir jauh tentang pernikahan. Cinta bukan buat senang-senang bro, kalau kalian malah jadi terlanjur sayang gimana?

Aku ingin tanya bagaimana kalian saat dihadapkan dalam posisi dimana kalian ingin menikah jika posisi kalian beda keyakinan?

Dalam hal ini aku pribadi hanya mempunyai dua pilihan. salah satu pindah agama, atau kalian harus mengakhiri hubungan kalian.

“Kenapa aku memberi dua pilihan itu, padahal masih bisa masing-masing memegang keyakinannya dan hidup bersama?” mungkin ada yang mikir seperti itu. Tapi aku tanya balik deh “Yakin gak?”


Karena yang aku tahu kebanyakan agama melarang adanya pernikahan beda agama. Aku tidak akan membahasnya disini, karena sudah banyak yang membahas tentang pernikahan beda agama menurut berbagai agama.

Dan di Indonesia pernikahan beda agama juga di larang. Aku lupa undang-undangnya nomer berapa, tapi yang jelas ada. Silahkan cari kalau tidak percaya.

Kalau ada yang berfikir "selama masjid dan gereja masih bisa berdampingan, kenapa kita enggak?" (seperti yg aku baca di cerita tadi) berarti kalian perlu memahami kembali agama kalian dan aturan-aturan di negara kalian. Atau kalian mau menikah di luar negeri sana, di negara yang melegalkan pernikahan beda agama. Satu hal yang harus kamu pahami dari pemikiranmu. Masjid dan gereja memang bisa berdampingan, tapi tidak bisa bersatu. Tidak ada masjid dan gereja jadi satu. Yang ada adalah gereja yang beralih fungsi jadi masjid, atau sebaliknya. Begitu juga denganmu, ya yang ada kamu harus pindah.

Oke kita lanjut untuk solusi pindah agama.

aku mau tanya sama kamu. apa kamu yakin mau pindah agama?

aku gak akan bicara soal restu orang tuamu, atau pandangan orang-orang di sekitarmu saat kamu pindah keyakinan. Tapi aku ingin bicara tentang dirimu. Ya! tentang hatimu yang ingin mengingkari Tuhanmu sendiri.

Kalau dari sudut pandangku tak seharusnya kalian pindah agama hanya karena cinta. Pindah agama (menjadi seorang muslim misal) harus karena Allah, bukan karena kamu jatuh cinta sama seorang muslim. Tapi karena kamu meyakini bahwa sesungguhnya Tuhan itu Allah. Bukan Tuhan yang selama ini kamu sembah. Begitu juga dengan agama lain.

Aku pernah mendengan cerita tentang keyakinan ini. Ada seorang pria non-muslim yang ingin menikahi wanita muslim. Dan dia rela pindah agama hanya demi wanita ini. Akan tetapi seiring berjalannya waktu ada gejolak dalam diri si pria. Sampai akhirnya ia pindah ke agamanya semula, dan akhirnya si istri mengikuti suami pindah agama.

Aku tidak ingin membahas agama apa yang di anut, tapi yang ingin aku bicarakan adalah "semudah itu kah?". Apa buat kalian agama itu hal yang bisa dipermainkan? begitu saja masuk suatu agama kemudian mengingkarinya dan kembali ke agama semula?

Kasus di atas hanya seperti mensiasati agama hanya untuk memperoleh cinta dari seseorang. Kalau kamu memang gak ada niatan untuk pindah agama kenapa kamu lakukan? kenapa bukan pasanganmu saja yang kamu yakinkan untuk memeluk agamamu?

Satu hal yang perlu kalian tahu. Pindah keyakinan tidak bisa dipaksakan, bahkan dengan cinta sekalipun. Hanya dengan Allah yang bisa meyakinkan hati untuk percaya dengan Islam. Begitu pula dengan agama lain.

Coba pikirkan, apa kamu mau pindah keyakinan? Atau apa dia dengan ikhlas tanpa beban untuk ikut keyakinanmu?

Jadi kalau kalian mengalami hubungan ini, aku pribadi menyarankan coba pikirkan lagi.!

Beberapa hari setelah aku posting artikel ini salah atu temanku membacanya. Lalu dia menghubungiku dan kita saling bertukar pikiran soal ini. Dan ini aku tuliskan statmen dia tentang hasil diskusi kita.

“Gue setuju sama pemikiran lo Gun, tapi ada satu hal yang mesti kita semua tahu. Kalau cinta itu tak bisa memilih. Gue punya pengalaman yang sama kayak masalah diatas. Meskipun gue sama dia gak pernah sampai yang namanya pacaran. Soalnya gue paham, hal kayak gini pasti ujungnya gak jelas. Kalau gue pacaran sama dia nanti endingnya mau dibikin kayak apa? Gue mesti pindah ke keyakinan dia? Atau dia yang ngikut gue? Gue paham betul resikonya kalau hal itu bakal terjadi. Meskipun jujur gue berharap dia bisa jadi seorang muslim.

Cara terbaik buat gue ya gue serahkan sama yang di atas, gue sembahyang dan minta petunjuk terbaik.  Dan akhirnya gue putusin membatasi diri. Gue gak mau meskipun dia pengen pindah agama buat ikut sama gue, gue gak mau dia pindah agama hanya karena dia cinta sama gue. Gue pengennya dia pindah agama karena emang dari dalam dirinya, dari kata hatinya. Bukan karena cintanya sama gue. Sampai hari ini gue berharap, seandainya gue bertemu lagi dengan dia udah menjadi seorang muslim.”


Kurang lebih kyak gitu pemikiran dia. Ya kalo gue sih sama kayak di awal solusi buat kayak gini ya putus apa salah satu pindah agama. Tapi lebih aku saanin yang pilihan awal, mendingan putus. Karena emang agama bukan sesuatu yang bisa dipaksakan, meskipun oleh cinta.


sumber : google

[Baca Selengkapnya...]

Senin, 13 April 2015

Mendakilah Bersamaku

- 0 komentar


Mendakilah bersamaku
Maka kau akan tahu bagaimana kebesaran-Nya menciptakan dunia ini.
Mendakilah bersamaku
Kau akan bersyukur bahwa kau dilahirkan di Indonesia.
Negara yang sangat sarat keindahan.
Mendakilah bersamaku.
Maka kau akan tahu bagaimana aku menjagamu.
Menggenggam tanganmu saat kau butuh pegangan.
Memapahmu saat kau mulai tertatih.
Mendakilah bersamaku
Kita nikmati bersama keindahan alam berdua di atas sana.
Duduk di tanah dan merasakan senangnya berada di atas awan.
Menunggu terbitnya matahari bersama embun-embun pagi.
Percayalah, itu akan lebih romantis semua hal romantis yang bisa aku lakukan.


Mendakilah bersamaku..
[Baca Selengkapnya...]
 
Copyright © . Gunawan Setyo Nugroho - Posts · Comments
Theme Template by BTDesigner · Powered by Blogger