Selasa, 05 Februari 2019

Bapak, Sate, dan Mantan Muridnya

- 0 komentar
Sebenarnya ini terjadi bebrapa waktu yang lalu. Tepatnya sabtu, 2 pebruari kemarin. Seperti biasa setiap kali akhir pekan aku pulang, bapak hampir selalu minta di antar ke apotek buat beli obat. Apotek Murni di Delanggu selalu jadi langganan. Tidak pernah lama, paling tidak sampai lima menit di apotek lali pulang. Dan setiap kali pulang, selalu saja mampir di warung sate kambing di pojok pertigaan timur pasar Cokro. Pertanyaan “Koe nganngo es ra” (Kamu pakai es nggak?) selalu terlontar. Hal ini merujuk tentang minum apa, es teh atau teh hangat. Ya, seolah bapak meragukan anaknya ini kalau sama seperti beliau yang suka minum es.

Sembari menunggu pesanan, tiba-tiba ada seseorang menghampiri bapak. Menjabat tangan sambil berkata “pangling mboten?” (pangling tidak) kata kakek itu - saya lupa namanya, tapi dari perkiraanku mungkin usianya hampir 70 tahun -. Bapak pun menjawab bahwa beliau pangling. Akhirnya obrolan berlanjut, dan diketahui bahwa kakek ini adalah murid bapak dulu. Dan bapak ingat ternyata setelah kakek itu memperkenalkan diri. Dan obrolan pun berkembang.

Foto kakek yang menjadi murid bapak


Beliau ini murid bapak sekitar tahun 1963-1964. Itu yang saya dengar dari penuturan bapak, dan sejalan kemudian langsung di timpali dengan perkataan tentang meletusnya pemberontakan pki pada tahun 1965. Dimana pada akhirnya sekolahan dimana bapak mengajar harus dipindahkan. Saya tidak tahu apa hubungannya, atau mungkin malah tidak berhubungan. Karena saya belum sempat menanyakan lebih jauh soal ini sama bapak. Lalu kakek itu berkata “Nek kula riyen neruske sekolah nggih paligan dados guru, sami kalih rencang-rencang. Lha amargi PKI nika, kula mboten sios neruske sekolah.” (Kalau saya dulu melanjutkan sekolah ya paling jadi guru, sama dengan teman-teman. Lha karena PKI -kerusuhan PKI- itu, saya tidak jadi melanjutkan sekolah.)

Saya jadi teringat bagaimana dulu bapak pernah bercerita tentang bagaimana kisruhnya keadaan karena pemberontakan PKI ini. Saya tidak tahu, dan mungkin tidak pernah tahu bagaimana keadaan waktu itu karena tidak mengalaminya. Tetapi bapak, beliau tahu dan mengalami bagaimana kondisi di waktu itu.

Oke, lanjut. Obrolan mereka terus berjalan dan mulai menyebut nama-nama teman dari kakek ini. Dan yang membuat saya sedikit terdiam dan berpikir adalah ketika menyebut beberapa nama yang sudah meninggal. Bukan satu atau dua nama, tetapi setidaknya ada empat. Walau aku tidak ingat siapa saja namanya. Terakhir beliau menyebut nama yang belum lama ini menginggal, katanya beliau datang ke pemakamannya.

Yang membuat saya sedikit terdiam bukan karena ngomongin orang yang sudah meninggal, tetapi lebih ke.... apa ya menyebutnya. Jadi semacam ada sesuatu di dalam diri saya yang berbicara “Ini murid bapak lho, sudah banyak yang meninggal. Yang noatbenya umurnya cukup jauh di bawah bapak”. satu sisi saya senang karena bapak di beri umur panjang sampai saat ini. Sementara di sisi lain saya harus menerima kenyataan bahwa bapak memang sudah sepuh, di usia yang sudah 80 tahun lebih.

Bapak


Saya jadi ingat sebuah omongan bapak. Tepatnya kapan saya kurang ingat, tapi kalimatnya saya masih ingat persis. Waktu itu bapak sakit, ya meskipun sebenarnya dalam hal medis bukan sakit parah. Sekedar kurang enak badan. Bapak bilang “jane ki aku gur mikir wae. Kanca-kancaku wes do mati, saiki kari aku dewe. Njuk aku ki kapan?” (Sebenarnya aku terus-terusan berpikir. Teman-temanku sudah pada meninggal, tinggal aku sendiri. Terus giliranku kapan?)

Sebuah kalimat sederhana, akan tetapi bagiku sangat dalam. Sepat aku becerita hal ini sama beberapa teman, tetapi mereka malah tertawa. Saya maklum, mereka tidak merasakan langusng bagaimana bapak bicara. Kesedihannya, bagaimana beliau merasa kesepian dengan tidak ada lagi teman sebaya. Bapak bicara dengan nada pelan dan parau, dengan sorot mata yang sayu. Entahlah, apa jika orang lain ada di posisi saya akan merasa hal sama atau tidak. Atau memang saya yang terlalu sensitif.

Pada akhir obrolan, lebih tentang keluarga. Tentang anak-anaknya, tentang cucu kakek itu yang sudah 13 orang. Dan seperti biasa saya selalu di ragukan sebagai anak bapak. Ya meskipun kemarin di tanya “lha niki putrane nopo putune?” (Lha ini putranya atau cucunya?) masih sedikit lebih baik ketimbang “Niki putune njenengan?” (ini cucu anda) yang sepertinya langsung di cap sebagai cucu. Hmm, disitu kadang saya merasa sedih.


Masih aja suka minum es teh & makan sate kambing


Finally, itu tadi sedikit cerita tentang bapak saya yang bertemu dengan muridnya dulu di sebuah warung sate. Terimakasih sudah menyempatkan waktu membaca. Salam literasi.
[Baca Selengkapnya...]
 
Copyright © . Gunawan Setyo Nugroho - Posts · Comments
Theme Template by BTDesigner · Powered by Blogger