Gak
kerasa udah setahun sejak aku terakhir kali naik gunung. Yeps, terakhir naik
gunung –sampai tulisan ini aku publikasikan- waktu naik gunung ungaran maret
2015 kemarin, tepatnya tanggal 14-15. Pendakian terakhirku emang sedikit berbeda dari biasanya. Oh
bukan-bukan, kalau kalian mikir pendakianku berbeda karena waktu itu bareng mendaki
bersama siapa saja kalian salah. Tetapi dari pendakian ini aku mengerti sebuah
hal yang penting.
Cukup
nekat memang karena memutuskan melakukan pendakian pada pertengahan maret,
dimana tiga bulan sebelumnya -15 desember- aku mengalami sebuah kecelakaan yang
mengakibatkan beberapa tulang jari kakiku patah dan bahu kiriku terasa-aku
tidak tahu namanya- sakit. Sampai hari ini pun kadang masih terasa kebas saat
digerakkan atau disentuh.
Mungkin
saat itu gelora mendaki ku masih sangat kuat dan jujur waktu itu aku sangat
rindu udara segar pagi hari di atas gunung. Sehingga aku nekat memutuskan
melakukan pendakian bersama beberapa temanku. Dicky, Gemil, Ajeng, Chesa, dan
Adnan. Meskipun aku sendiri yakin mereka juga ragu dengan kondisi kakiku. Haha
Dan
semua dimulai. Sabtu pagi aku berangkat dari karanganyar, jemput Gemil dulu di
boyolali terus langsung menuju Semarang. Sampai di semarang sekitar pukul
sepuluh, setelah sarapan lalu siap-siap cari perlenngkapan mendaki (logistic).
Sempat ada masalah soal personil yang mau berangkat, karena ada yang tadinya
mau ikut ternyata gak jadi.
Prepare clear tinggal berangkat. Sekitar setengah
jam perjalanan dari Tembalang ke base camp mawar pendakian gunung ungaran. Kita
sampai di base camp pendakian selepas maghrib. Registrasi sebentar kemudian
Sholat magrib sembari bersiap-siap. Kita sempet bertemu dengan dua orang yang
aku lupa namanya, cewek dan cowok yang rencananya naik berdua dan akhirnya
gabung dengan rombongan kami.
Secara
pribadi aku memang lebih suka pendakian malam hari, karena beberapa faktor
pertimbangan. Sebelum isya kita sudah mulai pedakian. Kawasan hutan langsung
menyapa kami. Sepanjang perjalanan kita sering ngobrol dan bercanda untuk
sekedar menghilangkan kesunyian dan sedikit melupakan lelah.
Selepas
dari hutan kita akan menemui kebun kopi di samping kanan kiri jalan setapak
yang kami lewati. Sampai akhirnya ketemu sebuah persimpangan antara ke puncak
dan babadan. Perbatasan antara kebun Kopi dan kebun Teh. Disana ada sebuah goa
peninggalan jaman Jepang (katanya). Sempat istirahat cukup lama disana.
Jalan
mulai berubah saat kita melanjutkan perjalanan. Jalur pendakian mulai lebih
miring dari sebelumnya. Sampai masuk ke dalam hutan kembali, meski tak selebat
yang di bawah. Disini aku mulai merasakan sesuatu yang tidak beres. Kaki yang
sebelumnya mengalami masalah ketika aku kecelakaan akhirnya terasa mulai
berdenyut-denyut. Beberapa kali aku meminta untuk break. Detik itu juga aku menyadari bahwa sebelum berangkat tadi
ada sedikit kesombongan dalam diriku. Sebelum berangkat tadi aku sempat menyatakan dalam diriku bahwa puncak itu (gn. Ungaran) akan berada di bawah kakiku.
Akhirnya
aku sampai pada titik dimana aku tidak lagi bisa memaksakan diri. Sebagai team leader sebenarnya aku merasa gagal
kali ini. Adnan, Ajeng, Gemil, Chesa, dan dua orang (mbaknya & masnya) yang
tadi bersama kami aku minta utuk melanjutkan perjalanan terlebih dahulu sembari
nanti mencari tempat untuk mendirikan tenda. Karena pada saat itu banyak orang
yang mendaki gunung ungaran. Sementara aku dan Dicky melanjutkan pendakian
secara perlahan.
Hingga
akhirnya aku sampai juga di tempat mendirikan tenda. Berhubung tendanya yang
bawa Dicky jadi kita baru bisa mendirikan tenda setelah aku dan Dicky sampai. I feel useless in this moment.
Setelah
mendirikan tenda, masak terus makan malam dan kami pun istirahat. Tapi aku
masih duduk di depan tenda sambil ngobrol gak penting sama Gemil. Sebenernya
sih yang di obrolin muter terus tapi kami ngobrolnya sampai hampir pagi.
Pagi
itu ketika cahaya matahari mulai mendominasi langit sebenarnya kakiku sudah
sehat kembali. Adnan, chesa, dan mas nya melanjutkan pendakian ke puncak. Tapi aku,
saat itu aku seperti kehilangan hasrat untuk berdiri di puncak. Di sisi lain
aku ingin memberi pelajaran untuk pikiran dan hatiku untuk tetap merendah. Dan
dalam hati aku bicara kepada diriku sendiri.
“Setinggi
apapun gunung yang kamu daki jangan pernah membuat merasa hebat, ingat kembali
untuk apa kamu mendaki. Jangan berbangga hati ketika kamu sudah menaklukkan
gunung yang lebih tinggi dan lebih sulit. Dan membuatmu yakin akan menjadi
jaminan kau akan menaklukan yang lebih rendah. Kalahkan egomu dan jadikan ini
pelajaran, kenanglah pendakianmu ini. bahwa ketika kau merasa hebat dan
mengarah kepada kesombongan maka ada yang lebih bisa mengalahkan dirimu dengan
mudah. Bahkan lebih mudah dari membalikkan telapak tangan untuk menghalangi
pendakianmu. Sekali lagi, tujuanmu mendaki adalah untuk medekat kepada alam, untuk
menikmati ciptaan Tuhanmu, bukan untuk kebanggaanmu”
Ini adalah kali pertama dalam pendakian aku
tidak sampai puncak. Sebelum-sebelumnya aku selalu sampai di puncak dalam
pendakian. Meskipun terkadang juga harus dengan susah payah. Aku menyerah
terhadap gunung yang dalam ketinggian adalah yang paling rendah yang pernah ku
daki (Sampai saat itu).
Pagi itu aku menyempatkan untuk menyendiri
guna merenung –meskipun keadaan disana sangat ramai- sambil memejamkan mataku,
sesekali aku membuka mata dan mengarahkan mata ke pandangan terjauh. Hal
seperti ini kadang memang aku lakukan ketika mendaki gunung. Hanya ingin mengistirahatkan
pandangan, membiarkan pendengaran menerima apapun yang ada, mencoba
menjernihkan pikiran dari hal-hal keseharian yang kadang bikin pusing. And I loves that moment.
Meskipun kadang beberapa orang malah
menggapnya aneh, dan mengira aku galau atau sedang cari wangsit. Hahaha. But trully I feel nothing for a few seconds.
Aku ngerasa semua beban pikiran hilang sejenak kalau aku melakukan itu.
 |
Persiapan turun |
Setelah semua momen aku nikmati pagi itu,
kita melakukan persiapan untuk kembali ke bawah. Dalam perjalanan ke bawah
sempat turun hujan. Dan aku bersyukur punya jaket angkatan (planologi undip
2010) yang bias menahan air hujan.
 |
sedang istirahat setelah kehujanan |
 |
Kiri-kanan. Cewek: Chesa-Gemil-Ajeng-Mbaknya
Cowok: Dicky-Adnan-Aku-Masnya |
Harusnya ada banyak detail pendakian yang bisa
aku ceritakan. Mulai berbagi coklat pasta saat istirahat, gimana salah satu dari
kita tiba-tiba bad mood. Bahkan saat makan siang di warteg sebelum berangkat
masih tersimpan di memori otakku. Tapi aku tulis cerita ini untuk mengingat
bahwa kesombongan dapat menjegalmu untuk mencapai tujuan. Just, tolong renungkan hal itu. Terimakasih sudah membaca.